A. BIOGRAFI
Nama lengkap Abdurrauf adalah Abd ar Rauf bin Ali al Jawiyy al Fansuriyy as Sinkilyy. Beliau berasal dari Fansur, Sinkil (Singkel), pantai barat Laut Aceh. Ayahnya bernama Syeikh Ali. Abdurrauf merupakan keturunan Bangsa Persia yang datang ke Kesultanan Samudera Pasai akhir abad ke-14, kemudian menetap di Pantai Sumatra Barat. Syeikh Ali – sebagai ayah Abdurrauf – adalah kakak dari Hamzah Fansuri. Sampai sekarang belum ada kepastian mengenai tahun kelahirannya. Menurut Rinkes beliau lahir sekitar tahun 1615. Rinkes memperkirakan tahun itu setelah menghitung mundur berdasarkan tahun kembalinya (Abdurrauf) dari Arab. Beliau telah merantau di tanah Arab selama 19 tahun, dan idealnya (pada umumnya), seseorang merantau pada usia muda (25-30 tahun). Sedangkan beliau kembali ke Aceh pada tahun 1661. Abdurrauf wafat pada tahun 1693 dan dimakamkan di dekat Kuala Sungai Aceh. Oleh karena itu beliau mendapat sebutan Teungku di Kuala. Dan namanya diabadikan menjadi nama sebuah perguruan tinggi di Aceh, yaitu Universitas Syaikh Kuala.
Riwayat hidup Abdurrauf dapat diketahui dari beberapa sumber di antaranya kitab yang ditulisnya sendiri berjudul Umdatu al Muhtajin ila Suluk Maslaki al Mufradin pada bagian kesimpulan, selain itu terdapat pula dalam disertasi Rinkes yang berjudul Abdoerraoef van Singkel.
Mengenai latar belakang pendidikannya, tampaknya Abdurrauf telah mempunyai dasar agama yang cukup kuat. Barulah sekitar tahun 1642 beliau merantau ke tanah Arab. Kepergiannya dikarenakan adanya kontroversi dan pertikaian antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan Nurudin ar Raniri dan para pengikutnya. Dengan alasan ini jelas bahwa Abdurrauf mengetahui semua permasalahan yang mengakibatkan terjadinya penganiayaan terhadap pengikut doktrin wujudiyyah dan pembakaran karya-karya Hamzah Fansuri. Akan tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kepergiannya ke tanah Arab karena untuk menunaikan ibadah haji.
Selama di tanah Arab, Abdurrauf belajar pada sejumlah guru, ulama, dan tokoh mistik ternama di Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha, Bait al Faqih, dan tempat-tempat lain. Sebagai orang yang bisa dikatakan paling berpengaruh pada diri Abdurrauf adalah Syeikh Shafiuddin Ahmad Ad Dajjani Al Qusyasyi, guru spiritualnya di Madinah. Darinya Abdurrauf mendapat ijazah dan khirqah untuk menjadi khalifah dalam Thariqat Syaththariyyah dan Qadiriyyah. Abdurrauf bukanlah sekadar ulama tasawuf, tapi juga ahli ilmu-ilmu lahir (seperti tafsir, fiqh, hadits, dsb.). Perpaduan dua bidang ilmu tersebut sangat memengaruhi sikap keilmuan Abdurrauf, yang sangat menekankan pepaduan antara syariat dan tasawuf.
Setelah kembalinya ke Aceh, pola pemikiran Abdurrauf menarik hati Sultanah Safiyyatudin yang saat itu memerintah Kesultanan Aceh. Oleh karena itu Abdurrauf bisa menduduki posisi sebagai Qadi Malik al ‘Addil yang bertanggung jawab atas administrasi masalah-masalah keagamaan.
C. KARYA-KARYANYAMengenai latar belakang pendidikannya, tampaknya Abdurrauf telah mempunyai dasar agama yang cukup kuat. Barulah sekitar tahun 1642 beliau merantau ke tanah Arab. Kepergiannya dikarenakan adanya kontroversi dan pertikaian antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dengan Nurudin ar Raniri dan para pengikutnya. Dengan alasan ini jelas bahwa Abdurrauf mengetahui semua permasalahan yang mengakibatkan terjadinya penganiayaan terhadap pengikut doktrin wujudiyyah dan pembakaran karya-karya Hamzah Fansuri. Akan tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kepergiannya ke tanah Arab karena untuk menunaikan ibadah haji.
Selama di tanah Arab, Abdurrauf belajar pada sejumlah guru, ulama, dan tokoh mistik ternama di Jeddah, Makkah, Madinah, Mokha, Bait al Faqih, dan tempat-tempat lain. Sebagai orang yang bisa dikatakan paling berpengaruh pada diri Abdurrauf adalah Syeikh Shafiuddin Ahmad Ad Dajjani Al Qusyasyi, guru spiritualnya di Madinah. Darinya Abdurrauf mendapat ijazah dan khirqah untuk menjadi khalifah dalam Thariqat Syaththariyyah dan Qadiriyyah. Abdurrauf bukanlah sekadar ulama tasawuf, tapi juga ahli ilmu-ilmu lahir (seperti tafsir, fiqh, hadits, dsb.). Perpaduan dua bidang ilmu tersebut sangat memengaruhi sikap keilmuan Abdurrauf, yang sangat menekankan pepaduan antara syariat dan tasawuf.
Setelah kembalinya ke Aceh, pola pemikiran Abdurrauf menarik hati Sultanah Safiyyatudin yang saat itu memerintah Kesultanan Aceh. Oleh karena itu Abdurrauf bisa menduduki posisi sebagai Qadi Malik al ‘Addil yang bertanggung jawab atas administrasi masalah-masalah keagamaan.
Banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya yang lebih terkenal adalah:
1. Mir’at al-Thullab fî Tasyil Mawa’iz al-Badî’rifat al-Ahkâm al-Syar’iyyah li Malik al-Wahhab. Karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
2. Tarjuman al-Mustafid. Merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
3. Terjemahan Hadits Arba’in karya Imam Al-Nawawi. Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
4. Mawa’iz al-Badî’. Berisi sejumlah nasehat penting dalam pembinaan akhlak.
5. Tanbih al-Masyi. Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
6. Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud. Memuat penjelasan tentang konsep wahadatul wujud.
7. Daqâiq al-Hurf. Pengajaran mengenai taswuf dan teologi.
1. Mir’at al-Thullab fî Tasyil Mawa’iz al-Badî’rifat al-Ahkâm al-Syar’iyyah li Malik al-Wahhab. Karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
2. Tarjuman al-Mustafid. Merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
3. Terjemahan Hadits Arba’in karya Imam Al-Nawawi. Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
4. Mawa’iz al-Badî’. Berisi sejumlah nasehat penting dalam pembinaan akhlak.
5. Tanbih al-Masyi. Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
6. Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud. Memuat penjelasan tentang konsep wahadatul wujud.
7. Daqâiq al-Hurf. Pengajaran mengenai taswuf dan teologi.
Sumber : http://mudiy.wordpress.com/artikel/syeikh-abdur-rauf-as-sinkilyy/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar